Ia mendidik pasiennya agar mengubah gaya hidup, tak tergantung pada obat dan tidak dibohongin dokter. Prinsipnya, pasien harus punya otonomi terhadap tubuh sendiri.
Cobalah berkunjung ke klinik dr. Tan Shot Yen diwilayah Bumi
Serpong Damai pada pukul 11 dihari kerja. Anda akan melihat dr. Tan menghadapi
beberapa pasien. Sekilas, Anda mungkin berpikir dokter sedang marah-marah.
Padahal ia sedang menjelaskan tentang gaya hidup sehat pada pasien barunya.
Pasalnya, memang begitu gaya dr. Tan, menjelaskan dengan suara keras. Bila kita
simak ucapannya, semua yang dijelaskannya sangat penting dan membukakan mata.
“Kesalahan pasien dalam berobat hanyalah mencari tahu
‘bagaimana’. Bagaimana
caranya menurunkan tensi, menurunkan kadar gula,
menguruskan badan, menghilangkan senewen atau sakit di jemari. Jika Anda Cuma
tanya ‘bagaimana’, Anda akan jatuh menjadi sekadar konsumen. Pertanyaan
terpenting adalah mengapa Anda sampai sakit?” urainya.
Wanita 45 tahun ini memang tak mau punya pasien yang yang
mengharapkan pil atau tongkat ajaib untuk membereskan tubuhnya.
“Saya mau pasien yang ‘taking ownership of their own body’ mengambil alih tubuh mereka sendiri. Itu badan anda. Buat apa dokter yang sok tahu menyuruh ini-itu? Yang benar buat dokter, belum tentu benar buat Anda.” Wah, dokter yang satu ini tampaknya memang lain dari yang lain.
“Saya mau pasien yang ‘taking ownership of their own body’ mengambil alih tubuh mereka sendiri. Itu badan anda. Buat apa dokter yang sok tahu menyuruh ini-itu? Yang benar buat dokter, belum tentu benar buat Anda.” Wah, dokter yang satu ini tampaknya memang lain dari yang lain.
Mendorong Gaya Hidup
Sehat :
Perbedaan mencolok dr. Tan dibanding dokter lain pada umumnya
adalah ia tidak mudah memberi obat. Rata-rata pasien yang keluar dari ruang
prakteknya tidak menggenggam resep. Kalaupun ada resep, biasanya hanya vaitamin
dan omega-3, tergantung kondisi pasien.
“Sampai kapan seseorang mau tergantung pada obat-obatan? Apakah
setelah mengonsumsi obat dia benar-benar sembuh? Jawabannya tidak. Karena
begitu obat berhenti, dia sakit lagi. Berapa banyak dokter hanya bertanya
‘sakit apa’ lalu berkata ‘ini obatnya’? Dia tidak memberikan pendidikan atau
menjelaskan asal usul penyakit. Pasien juga bego, padahal dia harusnya memahami
perannya dalam menciptakan penyakitnya,” jelas dr. Tan.
Sebagai ganti resep, dr. Tan memberikan pencerahan tentang gaya
hidup sehat yang harus dijalani setiap orang. “Saya yakin semua dokter tahu
bahwa diabetes, stroke, dan kanker adalah penyakit gaya hidup. Tapi pertanyaannya,
seberapa jauh seorang dokter mau fight untuk memperbaiki gaya hidup pasiennya?
Karena, penanganan pertama pasien seharusnya perubahan gaya hidup. Bila gagal,
baru obat-obatan boleh dicoba.”
Dr. Tan mencontohkan, pasien yang sakit lutut akan disuruh minum
obat, dioperasi, atau diganti tempurung lututnya. Padahal, titik beratnya
adalah bobot tubuhnya. Jika si Pasien mengubah pola makan dan gaya hidup, berat
badannya susut dan keluhan lututnya akan hilang. “Ibaratnya, mobil Mercedes
pasti turun mesin kalau diisi bensin bajaj. Coba ganti dengan bensin super,
pasti larinya kencang.”
Perubahan pola makan yang dianjurkan dr. Tan mungkin terdengar
ekstrem. Ia mengimbau pasiennya untuk berhenti mengonsumsi gula, terigu, nasi,
dan pati (singkong, kentang, ubi, jagung, talas). Pasalnya, di dalam tubuh,
jenis makanan ini akan diproses 100% menjadi gula dalam waktu dua jam. Benar,
manusia butuh gula untuk energi. Tapi kenaikan kadar gula darah akibat empat
jenis makanan ini sangat cepat, mengakibatkan insulin melonjak untuk menekan
kenaikannya. Bersama insulin, keluar pula hormon eicosanoid buruk. Akibatnya,
pembuluh darah menyempit, darah kental, daya tahan buruk, tubuh ‘memelihara’
bakteri, jamur, kista, tumor, dan kanker, serta timbul nyeri.
Sebagai ganti nasi, ia meresepkan: satu ikat selada mentah atau
dua cangkir brokoli setengah matang, 2 putih telur rebus, 2 tomat, 2 mentimun,
setengah avokad, apel, atau pear. Dengan makanan ini, tak ada sisa gula yang
tersimpan menjadi lemak. Kadar gula darah sebelum dan sesudah makan pun
rata-rata sama. Dan, hormon eicosanoid buruk takkan keluar sehingga tak
mengundang penyakit. ‘Menu’ ini perlu dilengkapi lauk-pauk yang diolah dengan
berbagai cara, asal tidak ditumis atau digoreng.
“Kita makan sayur bukan hanya demi seratnya. Sayur mentah
mengandung enzim dengan life force energy yang penting buat tubuh. Inilah pola
makan asal yang sesuai fitrah manusia. Siapa bilang tidak makan nasi jadi
lemas? Nenek moyang kita makan sayur dan buah tapi mereka kuat mendaki gunung
dan berburu.”
Sakit adalah
Introspeksi :
Hal lain yang menarik dari dr. Tan adalah gelar M. Hum. Gelar
itu didapat setelah ia mengambil pascasarjana filsafat di Sekolah Tinggi
Filsafat Driyarkara, Jakarta, tahun lalu. Menurutnya, kuliah S2 filsafat
membuatnya memahami manusia secara mendalam dan holistic. Ia juga jadi mengerti
‘dosa ilmu kedokteran’ tentang mekanisasi tubuh manusia.
“Akibat perkembangan ilmu kedokteran – terutama setelah
ditemukannya alat pacu dan cangkok jantung, tubuh manusia yang tadinya holistic
lalu dipecah-pecah. Kalau kepala sakit yang diobati, ya kepala saja. Kita
terlepas dari tubuh, emosi dan kecerdasan spiritual. Tubuh manusia hanya jadi
seperangkat mesin. Kalau ada yang salah, kita pergi kebengkel. Dan, rumah
sakitlah bengkel terbesarnya. Betul, badan manusia terlalu kompleks untuk
dipegang satu ahli saja. Manusia boleh dipegang beberapa ahli, asal mereka
sama-sama sadar bahwa manusia diciptakan Tuhan. Masalahnya, dokter punya
arogansi profesi. Seorang dokter biasanya susah dibilangin dan selalu merasa
benar,” tuturnya lugas.
Dr. Tan juga menyayangkan bila manusia zaman sekarang
mati-matian melawan dan menolak sakit. Padahal, sakit adalah jalan untuk lebih
memahami bahwa manusia tak selamanya diposisi atas.
“Sakit adalah introspeksi. Ketika sakit, saya berhenti dan
menoleh kebelakang. Apa yang ‘jalan’ dan ‘nggak jalan’ selama ini? Nah, menjadi
sembuh adalah keberhasilan introspeksi dan menemukan cara untuk lebih maju
lagi. Tapi bagaimana pasien bisa introspeksi bila tak dibimbing menemukan
kesembuhannya dan hanya dininabobokan oleh obat? Dunia yang mati rasa dan tak
mau mengalami sakit adalah dunia yang melarikan diri, mengingkari diri
sendiri,” lanjutnya.
Menurut dr. Tan, kita memasuki era kebablasan mengonsumsi obat.
Akhirnya, obat dijadikan permintaan. Setelah permintaan melambung tinggi,
masyarakat digenjot untuk mendapatkan penghasilan lebih yang tak perlu demi
obat. Lihatlah berapa banyak orang yang harus berusaha mati-matian demi
keperluan berobat salah satu anggota keluarga.
Selalu Ingin Jadi
Dokter :
Dr. Tan Shot Yen lahir di Beijing, 17 September 1964 dan
dibesarkan di Jakarta. Ia kuliah di Fakultas Kedokteran Universistas
Tarumanegara dan lulus Profesi Kedokteran Negara FKUI pada tahun 1991. Sebagai
siswi yang selalu mendapat nilai cemerlang dalam ilmu eksakta, menjadi dokter
merupakan impiannya sejak dulu. Baginya, dibidang kedokteran, cara pikirnya
yang eksakta bisa menemukan ‘kemanusiaannya’. Dalam diri pasien, ia menemukan
benang merah antara fisik, emosi dan spiritual.
Ketika baru menjadi dokter, saya juga ngaco. Sekadar memberi
obat pada pasien. Lama-lama saya pikir saya cuma perpanjangan pabrik obat,”
kenangnya. Lalu ia pelan-pelan lebih menggunakan gaya hidup sehat. Perubahan
ini dipicu oleh ayahnya, dr. Tan Tjiauw Liat, tokoh inspiratif yang membuatnya
maju untuk melihat apa sebenarnya kebutuhan manusia.
Melihat begitu berapi-apinya dr. Tan saat memberikan pencerahan
gaya hidup pada pasien, siapapun mungkin akan bertanya ‘apa tidak capek?’.
“Lebih capek mana dibandingkan dokter yang ditunggangi perusahaan obat dan
makanan? Saya mendapat energi bila melihat pasien sembuh. Mereka memegang
kendali atas hidup mereka, tidak dibohongin dokter, dan tidak tergantung obat,”
jawabnya.
Dr. Tan mengakui, sepak terjangnya kerap dipandang sebelah mata
oleh koleganya. “Ada yang bilang saya idealis, bahkan mission impossible. Tapi
saya yakin, dalam hati kecil mereka mengatakan bahwa perubahan gaya hiduplah
jawabannya. Masalahnya, mereka sendiri tidak menjalani gaya hidup itu. Ini
membuat saya sebal. Kalau mereka merasa tidak bisa menjalani gaya hidup sehat,
jangan mengecilkan pasien dengan menganggap pasien juga takkan bisa. Pasien
yang sudah parah dikasih obat apapun pasti mau. Apalagi Cuma disuruh ganti nasi
dengan sayur.”
Keluarga terpengaruh :
Pola makan asal yang meniadakan gula, trigu, nasi, pati dan susu
yang dijalani dr. Tan juga dilakukan oleh suami – Henry Remanleh – dan anak
tunggalnya, Cilla. Menurut dr. Tan, mereka tidak menjalaninya karena terpaksa,
tapi karena merasakan manfaatnya. “Putri saya 17 tahun, kadang terpengaruh pola
makan temannya. Dia lalu mengeluh susah konsentrasi atau pencernaannya
terganggu. Setelah itu dia back on track. Dia sudah meengonsumsi raw food sejak
SMP atas pilihan sendiri. Anak itu mencontoh orang tuanya. Jangan harap anak
makan dengan baik kalau Anda sendiri amburadul.”
Suaminya, Henry, adalah kinesiologis yang berkutat dengan
masalah gerak dan pengaruhnya terhadap aspek kehidupan manusia. Henry juga
instruktur brain gym. Ia berpraktek ditempat yang sama. Dr. Tan sangat
menghargai pekerjaan suaminya karena memberdayakan masyarakat. “Brain gym
terbukti bisa meningkatkan konsentrasi. Dengan pola makan sehat sejak kecil dan
gerakan olahraga terstruktur, Anda tak perlu lagi minum obat,” katanya tegas.
Selain sibuk berpraktik dan menjadi pembicara talkshow, dr. Tan
menjadi kontributor untuk tabloid dan majalah kesehatan. Selain itu, ia mengisi
waktunya dengan membaca dan membuka jalur “continuing medical education”
melalui internet. Karena itu, info dan data jurnal ilmiahnya selalu up to date
– disamping buku-buku terbaru pemberian ayahnya.
Ia menjalani pilates, terkadang berenang, dan sesekali bermain
piano. Kini ia sedang mengumpulkan kisah-kisah kamar praktek untuk dijadikan
tulisan inspiratif agar para dokter memandang pasien lebih dari sekumpulan
diagnosis.
Wah, sepertinya
semangat dalam tubuh mungil ini seolah melonjak-lonjak dan tak pernah padam.
Maju terus dr. Tan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar