[Toko Makmur Sentosa] | [tutup]
PASAR HOLISTIK: Mengendalikan Kemarahan

Jumat, 23 Maret 2012

Mengendalikan Kemarahan


Orang yang marah membuka mulutnya dan menutup matanya

Seorang janda kaya aristokrat, yang terkenal murah hati di tengah masyarakat, memiliki seorang pembantu rumah tangga yang rajin dan setia. Satu hari, didorong oleh rasa ingin tahu, pembantu ini memberanikan diri menguji majikannya. Ia ingin tahu apakah majikannya sungguh-sungguh baik hati, atau sekedar berpura-pura di depan kerumunan kaum kelas atas.
Keesokan harinya, ia bangun siang hari. Majikannya menegurnya karena terlambat. Hari berikutnya, pembantu itu bangun terlambat lagi. Kali ini nyonya rumah itu memarahi dan memukulnya dengan tongkat. Kabar ini segera terhembus dari satu tetangga ke tetangga yang lain. Janda kaya itu kehilangan tidak hanya nama baiknya namun juga pembantunya yang setia.
Seperti juga dalam masyarakat masa kini, orang menjadi baik dan rendah hati jika keadaan di sekeliling mereka baik dan memuaskan. Jika keadaan berubah menjadi tidak menyenangkan, mereka marah dan tersinggung. Ingat pepatah, “Kala yang lain baik, kita juga bisa baik. Kala yang lain bejat, kita gampang menjadi bejat juga.”
Kemarahan adalah emosi yang tidak baik dan merusak. Setiap orang bisa marah dalam satu dan lain bentuk dalam kehidupan sehari-hari. Kemarahan adalah emosi negatif yang tersembunyi di dalam kita, menunggu saat yang tepat untuk membakar dan menguasai kehidupan.
Kemarahan bisa diumpamakan dengan kilatan cahaya yang menyilaukan sejenak dan menyebabkan kita bertingkah yang tidak masuk akal. Kemarahan yang tidak terkendali bisa membawa kehancuran pada fisik maupun mental. Seperti emosi-emosi yang lain, kemarahan juga bisa dikuasai.

Kemarahan tumbuh semakin berkobar jika disiram minyak emosi, terutama jika keserakahan berada di balik emosi itu. Di saat-saat kemarahan menguasai, manusia berhenti menjadi manusia: ia berubah menjadi binatang buas yang tidak hanya memiliki kecenderungan untuk merusak orang lain, tapi juga bisa menghancurkan diri sendiri. Kemarahan bisa menlenyapkan reputasi, pekerjaan, kawan, kekasih, kedamaian pikiran, kesehatan, bahkan diri sendiri.
Cara terbaik untuk mengendalikan kemarahan adalah dengan berlaku seolah-olah pikiran-pikiran yang tidak diinginkan tidak muncul dalam pikiran. Dengan menggunakan kekuatan tekad, kita memusatkan pikiran pada sesuatu yang bermanfaat dan dengan cara inilah emosi-emosi negatif dikalahkan. Tidak gampang memang untuk bersikap damai pada orang yang menghina kita.
Meskipun fisik tidak disakiti, ego terasa direndahkan, sehingga ada keinginan untuk menyerang balik. Sungguh tidak mudah untuk membalas hinaan dengan rasa menghargai dan memaklumi. Namun ujian pada karakter seseorang justru dilihat dari sikapnya menghadapi situasi yang memojokkan dalam kehidupan sehari-hari. Sejak kecil juga sudah dapat dilihat bahwa kita suka membalas dendam demi kepuasan diri sendiri.
Ada orang yang seperti aksara terukir di atas batu; mereka cepat menyerah pada kemarahan dan menyimpan kemarahan itu dalam hati untuk waktu yang lama. Ada juga orang yang seperti goresan surat di pasir; mereka marah juga, namun kemarahan itu cepat berlalu. Orang yang lain seperti huruf yang ditulis di permukaan air; mereka tidak menyisakan goresan huruf yang datang. Tapi orang yang sempurna seperti surat ditulis di angin; mereka membiarkan hal-hal yang menyakiti dan menghina tak teracuhkan; pikiran mereka selalu murni tak terusik.
Tidak semua orang menggunakan metode yang sama untuk mengatasi kemarahannya. Salah satu cara yang efektif adalah menerapkan metode ‘mengulur waktu’. Thomas Jefferson meringkas metode ini dalam kata-katanya. “Jika marah, hitung sampai sepuluh sebelum melepaskan kata-kata. Jika sangat marah, hitunglah sampai seratus.”
Salah satu resep untuk mengembangkan pengendalian watak yang lebih baik adalah dengan mengulang-ulang di dalam hati kata-kata di bawah ini setiap hari.
Saya mampu mengendalikan kemarahan, saya mampu mengatasi gangguan, saya akan tetap sejuk dan tak akan terbakar, saya akan kokoh seperti karang, tak goyah oleh kemarahan, saya berani dan penuh dengan harapan.”

Disadur dari : How to live without fear and worry, by K. Sri Dhammananda.

1 komentar: